BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan manusia merupakan
perubahan yang progresif dan berlangsung terus menerus atau berkelanjutan.
Keberhasilan dalam mencapai suatu tahap perkembangan akan sangat menentukan
keberhasilan dalam tahap perkembangan berikutnya. Sedangkan, apabila ditemukan
adanya satu proses perkembangan yang terhambat, terganggu, atau bahkan
terpenggal, dan kemudian dibiarkan maka untuk selanjutnya sulit mencapai
perkembangan yang optimal. Tidak setiap anak mengalami perkembangan normal.
Banyak di antara mereka yang dalam perkembangannya mengalami hambatan,
gangguan, kelambatan, atau memiliki factor-faktor resiko sehingga untuk
mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan atau intervensi khusus.
Kelompok ini lah yang kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus. Tidak
ada satu anak manusia yang diciptakan sama yang satu dengan lainnya.
Tidak ada satu anak manusia tidak
memiliki kekurangan. Tidak ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia
ini dengan menyandang kelainan atau memiliki kecacatan. Demikian juga tidak
akan ada seorang ibu yang menghendaki kelahiran anaknya menyandang kecacatan.
Dengan demikian maka sejak kelahirannya ke dunia, anak cacat atau dikenal
dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah tidak dikehendaki oleh kedua orang
tuanya. Kosekuensi logis bila ABK akan menghadapi banyak tantangan dari
lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.
Kelahiran
seorang ABK tidak mengenal apakah mereka dari keluarga kaya, keluarga
berpendidikan, keluarga miskin, keluarga yang taat beragama atau tidak. Bila
Tuhan menghendaki keluarga itu dititipi seorang ABK maka kemungkinan semua itu
bisa terjadi. Akan tetapi Tuhan melihat dan menghargai manusia tidak dari
kecacatannya secara fisik, mental atau sosial. Tuhan melihat manusia dari
ketakwaan kepada-Nya.
Dititipkannya ABK pada satu keluarga bukan berarti keluarga tersebut mendapat kutukan, tetapi dititipkannya ABK pada satu keluarga karena Tuhan menguji atau memberi kesempatan pada keluarga tersebut untuk berbuat yang terbaik pada anaknya.
Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakatdan bangsa. Ia memiki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau norma
Dititipkannya ABK pada satu keluarga bukan berarti keluarga tersebut mendapat kutukan, tetapi dititipkannya ABK pada satu keluarga karena Tuhan menguji atau memberi kesempatan pada keluarga tersebut untuk berbuat yang terbaik pada anaknya.
Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakatdan bangsa. Ia memiki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau norma
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TUNANETRA
Secara etimologi kata tunanetra
berasal dari tuna yang berarti rusak,netra berarti mata atau penglihatan. Jadi
secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti buta,tetapi
buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat.
Menurut
Nakata (2003) mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan tunanetra adalah
mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3
(60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang
lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara
signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi awas meskipun menggunakan alat
bantu kaca pembesar.
Menurut Slamet Riadi adalah
“Seseorang dikatakan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya
untuk pendidikan “(Slamet Riadi , 1984, hal. 23). Menurut Pertuni tunanetra
adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga
mereka yang masih memiliki sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan
penglihatanya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan
cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).
Tunanetra menurut Soedjadi S. (tth:23):
Berdasarkan pandangan paedagogis, mereka ini kurang atau sama sekali tidak
dapat menggunakan penglihatannya dalam melaksanakan tugas yang diberikan dalam
pendidikan.
Tunanetra menurut pendapat White Confrence (Rahmawati 2007:16) bahwa:
1. Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga
tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan
kacamata.
2. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila
mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata terbaik
setelah mendapatkan koreksi yang diperlukan atau mempunyai keterbatasan dalam
lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak
lebih dari 20 derajat.
Berdasarkan definisi di atas, diketahui bahwa
seseorang dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya tidak lebih dari
20/200 feet atau setara dengan 6/60 meter yang berari pada orang dengan mata
normal dapat melihat pada jarak 60 meter, manun pada orang dengan gangguan mata
dapat melihat pada jarak 6 meter.
Dalam dunia pendidikan, tunanetra memiliki batasan –
batasan, yang dirumuskan oleh Amin dan Yusuf (Ismayanti, 2007:11) yaitu
seseorang anak yang cacat penglihatannya adalah yang cacat penglihatannya
mengganggu prestasi belajarnya secara optimal kecuali jika dilakukan
penyesuaian dalam metode pembelajaran, penyajian, pengalaman belajar, sifat –
sifat bahan yang digunakan dan atau lingkungan belajar.
Hal ini berarti dalam dunia pendidikan seorang anak
dikatakan tunanetra jika cacat penglihatannya mengganggu prestasi belajarnya,
sehingga perlu dilakukan penyesuaian – penyesuaian dalam proses pembelajaran
yang dilaksanakan didalam kelas.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa anak dengan
gangguan penglihatan (Tunanetra) adalah anak yang mengalami gangguan
daya penglihataan sedemikian rupa, sehingga membutuhkaan layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Bisa
juga diartikan seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan/tidak
berfungsinya indera penglihatan.
B.
KETERBATASAN
TUNANETRA
1. Tunanetra
memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara lain:
2. Tidak
dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari 1 (satu) meter.
3. Ketajaman
penglihatan 20/200 kaki yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu benda pada
jarak 20 kaki.
4. Bidang
penglihatannya tidak lebih luas dari 20º. (Heward & Orlansky, 1988:p.296).
Selain
tunanetra, hambatan penglihatan juga dapat berupa low vision. Berdasarkan
definisi World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan Low Vision
apabila:
1. Memiliki
kelainan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan pengobatan, misalnya
operasi dan atau koreksi refraksi standart (kacamata atau lensa).
2. Mempunyai
ketajaman penglihatan kurang dari 6/18 sampai dapat menerima persepsi cahaya.
3. Luas
penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi.
4. Secara
potensial masih dapat menggunakan penglihatannya untuk perencanaan dan atau
pelaksanaan suatu tugas.
C.
FAKTOR
PENYEBAB
Faktor
yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain:
1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan
pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan
pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a.
Keturunan
Ketunanetraan
yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara,
sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat
faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang
umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan
mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam
hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja
penglihatan pusat yang tertinggal.
b.
Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan
yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan
oleh:
§ Gangguan
waktu ibu hamil.
§ Penyakit
menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan
janin dalam kandungan.
§ Infeksi
atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air,
dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan
saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
§ Infeksi
karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi
pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu
sendiri.
§ Kurangnya
vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya
fungsi penglihatan.
2. Post-natal
Penyebab ketunanetraan
yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir
antara lain:
a. Kerusakan
pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau
benda keras.
b. Pada
waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe
menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan
berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami
penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
§ Catarac;
yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh,
akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
§ Glaucoma;
yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga
tekanan pada bola mata meningkat.
§ Diabetik
Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis.
Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh
kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
§ Macular
Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari
retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki
penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas
objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
§ Retinopathy
of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu
prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi
yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi
oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator
terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh
darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan
mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan
tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
D.
GEJALA
TUNANETRA
1.
Menggosok-gosokkan mata secara
berlebihan,
2.
Merasa pusing atau
sakit kepala.
3.
Kabur atau penglihatan
ganda.
4.
Mata gatal, panas atau
merasa ingin menggaruk karena gatal.
5.
Menyipitkan mata atau
mengkerutkan dahi ketika melihat benda-benda yang agak jauh.
E.
CIRI-CIRI
TUNANETRA
v Ciri Fisik
1.
Tidak tertarik perhatiannya pada
objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti
melihat gambar atau membaca.
2.
Mata juling, sering berkedip,
3.
Kelopak mata merah, mata infeksi,
4.
Mata selalu berair, dan pembengkakan
pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
v Ciri-Ciri Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Mental/intelektual
Intelektual
atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak
normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas
bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang
pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi,
asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti
sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
2.
Sosial
a. Hubungan
sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan
anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang
tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra,
sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan
rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya.
b. Tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa
masalah antara lain:
§ Curiga
terhadap orang lain. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra
kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun
akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat
curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan
bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya
mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam
menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri.
§ Perasaan
mudah tersinggung. Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya
rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan
kecewa menjadikan seorang tunanetra yang emosional.
§ Ketergantungan
yang berlebihan. Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan
diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra
harus diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung
jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan
dilakukan sendiri sejak kecil.
3. Perilaku
Ada
beberapa ciri-ciri tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak
yang mengalami gangguan penglihatan secara dini:
a. Menggosok
mata secara berlebihan
b. Menutup
atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke
depan.
c. Sukar
membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan
mata.
d. Berkedip
lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu
pekerjaan.
e. Membawa
bukunya ke dekat mata.
f. Tidak
dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
g. Menyipitkan
mata atau mengkerutkan dahi.
h. Tidak
tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang
memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
i.
Janggal dalam bermain
yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
j.
Menghindar dari
tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
F.
KLASIFIKASI
ANAK TUNANETRA
Klasifikasi tunanetra secara garis besar
dibagi empat yaitu:
1. Berdasarkan
waktu terjadinya ketunanetraan
a. Tunanetra
sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan.
b. Tunanetra
setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
c. Tunanetra
pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan
visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan
pribadi.
d. Tunanetra
pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu
melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
e. Tunanetra
dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan
penyesuaian diri.
2.
Berdasarkan kemampuan
daya penglihatan
a. Tunanetra
ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam
penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan
dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
b. Tunanetra
setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan
biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
c. Tunanetra
berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
3.
Berdasarkan pemeriksaan
klinis
a. Tunanetra
yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang
penglihatan kurang dari 20 derajat.
b. Tunanetra
yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200
yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
4.
Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata
a. Myopia;
adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang
retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa negatif.
b. Hyperopia;
adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan
retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu
proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan
lensa positif.
c. Astigmatisme;
adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena
ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh
pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme
digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
5.
Secara pendidikan
Secara pendidikan tunanetra dikelompokkan
menjadi:
a. Mereka
mampu membaca cetakan standar.
b. Mampu
membaca cetakan standar dengan menggunakan kaca pembesar.
c. Mampu
membaca cetakan besar (ukuran Huruf No. 18).
d. Mampu
membaca cetakan kombinasi cetakan regular dan cetakan besar.
e. Membaca
cetakan besar dengan menggunakan kaca pembesar.
f. Menggunakan
Braille tetapi masih bisa melihat cahaya (sangat berguna untuk mobilitas).
g. Menggunakan
Braille tetapi tidak punya persepsi cahaya.
G. DAMPAK
Penglihatan
merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting bagi manusia selain
pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman manusia kira-kira 80
persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di bandingkan dengan
indera yang lain indera penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada
saat seseorang melihat sebuah mobil maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh
seperti misalnya warna mobil, ukuran mobil, bentuk mobel, dan lain-lain
termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh
dengan indera selain penglihatan. Kehilangan indera penglihatan berarti
kehilangan saluran informasi visual. Sebagai akibatnya penyandang kelainan
penglihatan akan kekuarangan atau kehilangan informasi yang bersifat visual.
Seseorang yang
kehilangan atau mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus
berupaya untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi. Seberapa jauh
dampak kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang
tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa
balita atau sesudah lima tahun) terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan,
jenis kelainan dan lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum
lahir sering sampai usia lima tahun pengalaman visualnya sangat sedikit atau
bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang kehilangan penglihatan setelah
usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki pengalaman visual
yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk terhadap penerimaan diri.
1.
Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalah
persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon
individu terhadap 8 orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek
tersebut tampak dalam dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap
orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya
masingmasing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh factor-faktor
berikut: (1) Lingkungan fisik dan sosisalnya, (2) struktur fisiologisnya, (3)
keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-pengalaman masa lalunya. Dari
keempat faktor yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang kelainan
dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera
penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya.
Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga
konsepsi orang awas mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda
dari konsepsi orang awas pada umumnya.
2. Dampak terhadap Keterampilaan Sosial
Orang tua
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial anak. Perlakuan orang
tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap
ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua
komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang
terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya.
Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi
lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin
akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam
kasus yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini
terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat.
Pada umumnya
orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang “normal” itu
dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap
penerimaan, meskipun untuk orang 9 tua tertentu penerimaan itu mungkin akan
tercapai setelah bertahun-tahun. Proses “dukacita” ini merupakan proses yang
umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang
tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu)
dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan
mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
3. Dampak terhadap Bahasa
Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan
penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan
menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat
defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak studi yang
menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang
awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa
berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan
perbedaan dalam aspekaspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif
lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka
tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif
tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih
termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan
saluran utama komunikasinya dengan orang lain.
Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak
awas, karena makna kakat-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya
di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar
kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan
pengalaman nyata dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat
langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain 10 memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman
kaidah-kaidah bahasa.
4. Dampak
terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh
ketunanetraan untuk berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalah
kemampuan mobilitas yaitu ketrampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam
lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan
orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek
dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976). Para pakar
dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat
ditempuh oleh individu tunanetra untuk memmproses informasi tentang
lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequncial mode) yang menggambarkan
titk-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan, atau dengan metode
peta kognitif yang memberikan gambaran topografis tentang hubungan secara umum
antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al dalam Hallahan dan
Kaufman,1991). Metode peta kognitif lebih direkomendasikan karena cara tersebut
menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam menavigasi lingkungan. Bayangkan
tiga titik yang berurutan – A, B, dan C. Memproses informasi tentang orientasi
lingkungan dengan metode urutan membatasi gerakan individu sedemikian rupa
sehingga dia dapat bergerak dari A ke C hanya melalui B. Tetapi individu yang
memiliki peta kognitif dapat pergi dari titik A langsung ke titik C tanpa memlalui
B.
Akan tetapi,
metode konseptualisasi ruang apapun , metode urutan ataupun metode peta
kognitif- individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas
dibandingkan dengan sebayanya yang awas. Mereka kurang mapu atau tidak mampu
sama sekali menggunakan “visual metaphor” (Hallahan dan Kauffman, 1991:310) Di
samping itu, para palancong tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk
memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan individu yang
awas (Holfield & Fouke dalam Hallahan dan Kauffman, 1991)
Untuk membentuk
mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra di
Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan anjing
penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik untuk
membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan. Agar
anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di
dalam lingkungannya dala bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan
orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus
mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur,
keleluasaan gerak, dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera –indera yang
masih berfungsi.
H.
LAYANAN
PENDIDIKAN
A. Jenjang
Pendidikan. Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB)
1) Program
Kegiatan Belajar
·
Program Umum:
pembentukan perilaku melalui pengembangan Pancasila, agama, disiplin,
perasaan/emosi dan kemampuan bermasyarakat, serta pengembangan kemampuan
berbahasa, daya pikir, daya cipta, keterampilan dan jasmani.
·
Program khusus:
Orientasi dan Mobilitas.
2) Susunan
Program Pengajaran:
·
Kegiatan Belajar 3 jam
per hari, setiap jam pelajaran lamanya 30 menit.
·
Lama Pendidikan:
berlangsung selama satu sampai tiga tahun
·
Usia: sekurang-kurangnya
berusia 3 tahun
·
Rasio guru dan murid: 1
guru membimbing 5 peserta didik.
3) Sistem
guru:
·
Guru kelas, kecuali
untuk bidang pengembangan Orientasi dan Mobilitas.
·
Team Teaching.
B. Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB)
1)
Kurikulum
·
Program Umum: : Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika,
Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajian Tangan dan Kesenian,
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.
·
Program Khusus:
Orientasi dan Mobilitas, dan Braille
·
Program Muatan Lokal
antara lain: Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, Kesenian Daerah atau lainnya yang
telah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan setempat.
2) Susunan Program Pengajaran
·
Kegiatan belajar
sekurang-kurangnya 30 sampai 42 jam pelajaran tiap minggu.
·
Untuk kelas I dan II
setiap jam pelajaran lamanya 30 menit, kelas III sampai dengan VI setiap jam pelajaran
lamanya 40 menit
·
Lama Pendidikan:
berlangsung selama sekurang-kurangnya 6 tahun.
·
Usia: sekurang-kurangnya
berusia 6 tahun
·
Rasio guru dan murid: 1
guru mengajar maksimal 12 siswa.
3) Sistem
guru:
·
Guru Kelas, kecuali
untuk mata pelajaran Orientasi dan Mobilitas, pendidikan
Agama,
pendidikan jasmani dan Kesehatan.
·
Team teaching
Mengembangkan
program pendidkan individual bagi siswa tunanetra yang membutuhkan layanan
tertentu.
C. Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)
1) Kurikulum:
·
Program Umum:
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Jasmani
dan Kesehatan, Bahasa Inggris.
·
Program Khusus:
Orientasi dan Mobilitas, dan Braille.
·
Program Muatan
Lokal:Bahasa Daerah, Kesenian Daerah atau lainnya yang telah ditetapkan oleh
Dinas Pendidikan setempat.
·
Program Pilihan: paket
keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan
Kesenian.
2) Susunan
Program Pengajaran:
·
Kegiatan belajar
sekurang-kurangnya 42 jam pelajaran tiap minggu. Setiap jam pelajaran lamanya
45 menit. Alokasi waktu program umum, program khusus dan muatan lokal kurang lebih
48%, sedangkan alokasi waktu program pilihan kurang lebih 52%.
·
Lama Pendidikan:
berlangsung selama sekurang-kurangnya 3 tahun.
·
Siswa: telah tamat
Sekolah Dasar Luar Biasa atau satuan pendidikan yang sederajat/setara.
·
Rasio guru dan murid: 1
guru mengajar maksimal 12 siswa.
3) Sistem
guru:
·
Guru mata pelajaran
D. Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)
1)
Kurikulum:
·
Program Umum:
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Jasmani
dan Kesehatan, Bahasa Inggris.
·
Program Khusus: Braille
·
Program Pilihan: paket
keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan
Kesenian.
2)
Susunan Program Pengajaran:
·
Kegiatan belajar sekurang-kurangnya
42 jam pelajaran tiap minggu. Setiap jam pelajaran lamanya 45 menit. Alokasi
waktu program umum kurang lebih 38%, sedangkan alokasi waktu program plihan
kurang lebih 62%.
·
Lama Pendidikan:
berlangsung selama sekurang-kurangnya 3tahun.
·
Siswa: telah tamat
Sekolah Menengah Pertama atau yang sederajat/setara.
·
Rasio guru dan murid: 1
guru mengajar maksimal 12 siswa
3) Sistem Guru: guru mata pelajaran.
I.
MODEL
PENDIDIKAN
a. Pendidikan
Khusus (SLB)
SLB
adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. 1) Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra; yaitu sekolah yang
hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak tunanetra.
2) Sekolah Dasar Luar Biasa; yaitu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus, dengan bermacam jenis kelainan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
2) Sekolah Dasar Luar Biasa; yaitu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus, dengan bermacam jenis kelainan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
b. Pendidikan
Terpadu
Pendidikan
Terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam
satuan pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler (SD,SMP, SMA dan SMK)
dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang
bersangkutan (Kepmendikbud No. 002/U/1986). Dalam pendidikan terpadu harus
disiapkan: 1) Seorang guru Pembimbing Khusus (Guru PLB)2) Sebuah ruangan khusus
yang dilengkapi dengan alat pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus .
Ruangan khusus ini dibuat dengan tujuan apabila anak yang berkebutuhan khusus
tersebut mengalami kesulitan di dalam kelas, maka ia dibawa ke ruang khusus
untuk diberi pelayanan dan bimbingan oleh guru Pembimbing Khusus. Bimbingan ini
dapat berupa: (a) bantuan untuk lebih memahami dan menguasai materi pelajaran,
dengan menggunakan alat bantu atau alat peraga, (b) pengayaan agar ketika anak
belajar di kelas bersama anak lainnya anak tunanetra sudah siap menerima materi
pelajaran, (c) rehabilitasi sosial bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kesulitan dalam bergaul dengan teman sebayanya.
c. Guru
Kunjung
Di
dalam sistem Pendidikan Luar Biasa terdapat sebuah model pelayanan pendidikan
bagi anak yang berkebutuhan khusus yaitu dengan model Guru Kunjung. Model guru
kunjung ini dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus usia sekolah. Oleh karena sesuatu hal, anak tsb tidak dapat
belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya, seperti:
1) Tempat tinggal yang
sulit dijangkau akibat dari kemampuan mobilitas yang terbatas
2) Jarak sekolah dan rumah terlalu jauh
2) Jarak sekolah dan rumah terlalu jauh
3) Kondisi anak
tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan.
4)
Menderita penyakit yang berkepanjangan
5)
Dll.
Pelayanan
pendidikan dengan model guru kunjung ini bisa dilaksanakan di beberapa tempat,
diantaranya;
1)
Rumah anak tunanetra sendiri
2)
Pada sebuah tempat yang dapat menampung beberapa anak tunanetra
3)
Rumah sakit
4)
Dll.
Kurikulum
yang digunakan pada model guru kunjung adalah kurikulum PLB, kemudian
dikembangkan kepada program pendidikan individual yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan masing-masing anak.
d. Pendidikan
Inklusif
Pendidikan
inklusif adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang
memerlukan pendidikan khusus pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang
sistemik. Berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992, anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus seperti tunanetra dapat belajar secara terpadu dengan
anak sebaya lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama. Layanan pendidikan
di dalam pendidikan inklusif memperhatikan:
1.
Kebutuhan dan kemampuan siswa
2.
Satu sekolah untuk semua
3.
Tempat pembelajaran yang sama bagi semua siswa
4.
Pembelajaran didasarkan kepada hasil assessment
5.
Tersedianya aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga siswa
merasa aman dan nyaman.
6.
Lingkungan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa
Kurikulum
yang digunakan adalah kurikulum yang fleksibel, yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra) adalah anak
yang mengalami gangguan daya penglihataan sedemikian rupa, sehingga
membutuhkaan layanan khusus dalam
pendidikan maupun kehidupannya.
Faktor
yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan
dibagi menjadi dua yaitu Pre-natal dan juga post natal.
Anak yang mengalami gangguan pengllihatan (Tunanetra)
memiliki dampak pada beberapa aspek seperti Dampak terhadap Kognisi, Dampak terhadap Keterampilaan Sosial, Dampak
terhadap Bahasa, Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas.
2 komentar:
Tungsten G-1000Ti Titanium vs Tungsten Glass | Titanium Arts
Tungsten glass is designed to provide depth and sensitivity for mens titanium watches the entire surface. titanium rimless glasses Tungsten glass is made of aluminum oxide and 출장마사지 stainless does titanium set off metal detectors steel. In addition, titanium guitar chords
cp625 nfl jerseys,jordans shoes,jordans for sale,cheap nfl jerseys,Cheap Jerseys from china,wholesale nfl jerseys,Cheap Jerseys china,wholesale nfl jerseys,cheap nfl jerseys cc802
Posting Komentar